Monday, October 1, 2012

Bukan Oemar Bakri


Menjelang hari guru yang jatuh pada tanggal 25 november, Nasib guru bisa dikatakan sudah lebih baik dari Oemar bakri versi Iwan fals. Seorang guru tak lagi milik para bapak dan ibu yang menginjak usia matang. Tidak lagi mengayuh sepeda untuk sampai didepan sekolah. Banyak diantara anak muda sekarang yang mendedikasikan masa mudanya untuk berprofesi sebagai guru. Jika dihitung dari masa sekolah dan kuliah bisa jadi seorang guru jaman sekarang dimulai dari usia diatas dua puluh. Tentu saja usia muda ada sisi positif dan negatif nya. Kearifan dan kebijakan masih dirasa kurang saat seorang pemuda usia dua puluhan lebih menjabat sebagai seorang guru. Tetapi semangat mereka pun tak ragu diacungi jempol.

Tujuh belas tahun yang lalu
Oemar bakri yang ini tidak mengayuh sepeda. Dia begitu semangat. kaki kiri dan kanannya berlomba menuju tempatnya berbagi ilmu, Disekolah para murid menunggu dengan wajah riang tanpa alas kaki. Hanya satu dua orang saja yang memakai sepatu yang sudah ditambal sana sini. Itupun harus mereka buka dan simpan di teras depan kelas. Dengan alasan agar lantai kelas tidak cepat kotor. Maklum saja sandal dan sepatu yang sering mereka pakai penuh lumpur, karena jalan yang murid telusuri bukan jalan aspal atau semen. Tetapi pesawahan dan jalan raya yang tidak beraspal. Hanya guru saja yang boleh memakai sepatu didalam kelas.

Oemar bakri mengajar dua kelas. Entah tak ada guru atau memang tak ada yang mau ditempatkan dikampung. Di Desa saya hanya beberapa anak saja yang meneruskan pendidikan sampai jenjang SMP selebihnya hanya SD atau kelas empat saja sudah beruntung. Jika sudah pandai membaca dan berhitung maka orangtua merasa sudah cukup sekolahnya. Waktunya mencari uang. Anak mereka akan bekerja serabutan disawah, dipasar, merantau kekota untuk berjualan atau hanya sekedar menjadi kuli bangunan.
Tak ada semangat untuk bersekolah. Mungkin tidak ditunjang dengan segala fasilitas. Disekolah saya hanya ada empat kelas untuk kelas satu sampai enam. Tidak ada kelas pagi atau siang. Karena muridnya pun jarang. Setidaknya itu kenyataan yang terjadi dikampung tempat tinggal saya yang berada di Kabupaten Garut.

Setiap tahun saya melihat raut wajah Oemar bakri tidak banyak berubah. Selalu terlihat arif dan teduh. Setelah memutuskan bersekolah di Banten, saya hanya pulang setahun sekali. Dan tak pernah melihat Oemar bakri lagi.
Tujuh belas tahun kemudian
Sewaktu mudik saya bertemu dengan oemar bakri. Disuatu pagi  saya mendengar deru mesin sepeda motor melintas didepan rumah. walau melihat sekelebat. Tapi jelas terlihat Oemar bakri lewat. Saya tergesa mencapai halaman melambai tangan dan sedikit berteriak agar suara saya terdengar.
 “Pak..”  tapi terlambat laju motornya menghilang. Aku memilih mencari kabar lewat bapak. 

“Pak ujang, sering mampir kerumah kalau pulang ngajar” bapak memulai pembicaraan. Bapak bisa dibilang sahabat oemar bakri. Karena di kampung saya hanya Bapak yang mementingkan pendidikan. Anak-anak bapak wajib bersekolah minimal SMU.Maka dari itu Oemar bakri sering bertukar fikiran.
Kabar terakhir yang didapat dari bapak, anaknya sudah akan menikah setelah lulus menjadi guru, sekarang oemar bakri sudah menjadi kepala sekolah di SD itu. Tak lagi berjalan kaki.
Ya, dia memang bukan Oemar bakri. Dia Pak Ujang guru kami . Yang selalu menyemangati kami agar terus sekolah dan menuntut ilmu.

Tulisan ini disertakan dalam lomba <gerakan indonesia berkibar>


http://indonesiaberkibar.org/term-and-condition.html
 








2 comments:

  1. semoga makin byk guru2 spt omar bakri atau pak Ujang ya mbak..

    Semoga sukses dg kontesnya :)

    ReplyDelete
  2. aamiin.. makasih mba . ayoo ikutan juga :D

    biar seruuu :D

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung, silahkan berkomentar dengan sopan, dan lucu *loh

dan jika berkenan dengan nama dan alamat Blog yang benar
Supaya memudahkan saya untuk bersilaturahmi kembali.ke Blog Kamu