Panas sekali cuaca Surabaya siang ini. Setelah turun dari sebuah bis, aku memutuskan untuk berhenti dan membeli sebuah Es dawet yang terlihat sangat menggiurkan. Sensasi segar langsung terasa sesaat setelah suapan kelima mampir di tenggorokan. Aku membuka sebuah dompet dan mengambil beberapa lembaran seribuan untuk membayar, lalu secarik kertas berisi alamat kubuka untuk memastikan.
"Mas, kenal daerah ini?" Aku menanyakan alamat yang tertera, kepada penjual Es dawet. "Owh ini tinggal naik becak saja Dik," lanjut Mas penjual Dawet. "Terimakasih, Mas." Aku melanjutkan perjalanan menuju sebuah becak yang berjejer rapi. Aku memilih satu becak dan memberitahu alamat yang dituju. Fikiranku melayang pada kejadian sebulan lalu, sesaat sebelum Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu memberikanku alamat dan sebuah nama, Kapten Bhirawa.
Becak yang aku tumpangi berhenti di sebuah rumah bergaya khas belanda. 'Masih ada ternyata rumah seperti ini,' gumamku. Aku membayar dan membuka pintu pagar. Sebelum pintu rumah kuketuk seorang berpengawakan tinggi besar keluar dari dalam rumah. Seorang yang masih terlihat gagah walau sudah berusia lanjut. Sepertinya dia Kapten Bhirawa itu.
Ternyata benar, setelah dia mengambilkan air minum dan sebuah kue kaleng, aku menyampaikan itikadku. Kuberikan selembar surat cinta dari ibuku, untuk Kapten Bhirawa. Walaupun aku hanya anak adopsi Ibu, tapi aku sangat menyayanginya. Ibu rela menjadi perawan tua dan tidak menikah seumur hidupnya hanya untuk menunggu Kapten Bhirawa, kekasih yang dikiranya gugur dalam tugas. Tetapi Ibu mendapat kabar terakhir sebelum meninggal bahwa Kapen Bhirawa masih hidup dan tinggal di Surabaya. Ibu ingin sekali bertemu apa daya ibu sakit keras dan hanya meninggalkan sepucuk surat, untuk Kekasihnya. Aku melihat mata Kapten Bhirawa yang berkaca dibalik wajah datarnya. Aku melihat sekeliling tak kutemukan hiasan dinding yang tertempel, hanya ada sebuah foto yang sepertinya aku kenal, foto Ibuku saat muda.
Cerita ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta
"Mas, kenal daerah ini?" Aku menanyakan alamat yang tertera, kepada penjual Es dawet. "Owh ini tinggal naik becak saja Dik," lanjut Mas penjual Dawet. "Terimakasih, Mas." Aku melanjutkan perjalanan menuju sebuah becak yang berjejer rapi. Aku memilih satu becak dan memberitahu alamat yang dituju. Fikiranku melayang pada kejadian sebulan lalu, sesaat sebelum Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu memberikanku alamat dan sebuah nama, Kapten Bhirawa.
Becak yang aku tumpangi berhenti di sebuah rumah bergaya khas belanda. 'Masih ada ternyata rumah seperti ini,' gumamku. Aku membayar dan membuka pintu pagar. Sebelum pintu rumah kuketuk seorang berpengawakan tinggi besar keluar dari dalam rumah. Seorang yang masih terlihat gagah walau sudah berusia lanjut. Sepertinya dia Kapten Bhirawa itu.
Ternyata benar, setelah dia mengambilkan air minum dan sebuah kue kaleng, aku menyampaikan itikadku. Kuberikan selembar surat cinta dari ibuku, untuk Kapten Bhirawa. Walaupun aku hanya anak adopsi Ibu, tapi aku sangat menyayanginya. Ibu rela menjadi perawan tua dan tidak menikah seumur hidupnya hanya untuk menunggu Kapten Bhirawa, kekasih yang dikiranya gugur dalam tugas. Tetapi Ibu mendapat kabar terakhir sebelum meninggal bahwa Kapen Bhirawa masih hidup dan tinggal di Surabaya. Ibu ingin sekali bertemu apa daya ibu sakit keras dan hanya meninggalkan sepucuk surat, untuk Kekasihnya. Aku melihat mata Kapten Bhirawa yang berkaca dibalik wajah datarnya. Aku melihat sekeliling tak kutemukan hiasan dinding yang tertempel, hanya ada sebuah foto yang sepertinya aku kenal, foto Ibuku saat muda.
Cerita ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta
Add caption |
mak hanna kerenn ceritanya..sukses yah.
ReplyDeletesemoga segera berkumpul lagi :(
ReplyDeleteManis mak, ternyata keduanya saling cinta ya..
ReplyDeleteAaaah...aaahhh... aauuuuww (apaan ini?!), bikin dadaku nyesek aja.^^V kayak gini kok nggak pede :)
ReplyDeleteuhuk, manisnya, tapi sedih juga :(
ReplyDeleteJadi kapten Bhirawa juga tak menikah ya? huhuhu... Setianyaaaa....
ReplyDeleteaku mendukung mbak Hana aja ya hehehe belum bikin, gak tau bisa atau gak :-D
ReplyDeletekadang sesuatu yang lebih baik, akan muncul sesudah hal yang baik lainnya terlewatkan :)
ReplyDeleteSedih Bun.... :(
ReplyDeletewuih wuih... cerita yg cetar membahana.. ternyata buat kontes toh. pak abdul kholik doyan banget bikin kontes, jadi makin tenar tuh si doi
ReplyDeletedeuh.. es dawet, inget bulan puasa :D
ReplyDeletewah postingannya kerennn :) semoga memang yah
ReplyDeleteKisah yang mengharukan :")
ReplyDeletehuwaaahhh...pdhl sama2 cinta ya :(
ReplyDeletehuaaaaa sedih sedih sedih *lap air mata*
ReplyDeleteJadi sekian lama keduanya memendam cinta ya?
ReplyDeleteAduh... mengharukan sekali
waduh....
ReplyDeletesi ibu...
Berlanjut dong ceritanya, happy ending ya..
ReplyDeleteSalam
Astin
kisah cinta yang tak sampai, ya. Malah salah satunya sudah meninggal dunia
ReplyDeleteharus di penuhi wasiat seorang ibu :3 samsung galaxy note 5 - samsung
ReplyDelete